Selasa, 06 Juli 2010

kelinci



Beternak kelinci

Gambaran singkatnya: modal kecil, pemeliharaan mudah, tidak membutuhkan lahan yang luas bahkan pakan pun tidak terlalu sulit dan mahal, sebab bisa memanfaatkan pakan hijauan dan limbah pertanian/pangan yang ada di sekitar lingkungan peternak.

Nah, selain cepat berkembang biak, harga jualnya pun bagus bahkan tidak sulit untuk menjualnya. Artinya, beternak kelinci sangat cocok untuk ternak keluarga, entah itu petani di desa maupun keluarga di perkotaan.

Dengan cuma memiliki 1 pasang kelinci misalnya, dengan kondisi lingkungan yang pas, kelinci mampu melahirkan 10-11 kali/tahun dengan rata-rata 6-7 anak per kelahiran dan beranjak dewasa pada umur 6 bulan. Nah kalau yang kita piara lebih banyak lagi, tentu pemeliharaan lebih efisien dengan hasil yang tidak kecil.

Itu kalau kita bicara soal kelinci pedaging, lantas bagaimana dengan kelinci hias? Uh, ternyata juga menggiurkan. Contohnya: kita punya induk kelinci New Zealand umur 5 bulan seharga Rp 150.000. Dia beranak setiap bulan 6 ekor. Harga anakan umur 1 bulan Rp 15.000 x 6= Rp 90.000. Jika kita punya 10 ekor indukan produktif saja, maka setiap bulan mampu menghasilkan 6 x 10 = 60 ekor anak x 15.000 = Rp 900.000. Kalau punya banyak indukan? Ya tentu penghasilan semakin tinggi.

Hitungan lebih asyik, begitu ditulis dalam www.sinartani.com: Induk betina kelinci Impor jenis Rex harga Rp 500.000. Beranak setiap bulan sejumlah 6 ekor. Anak Rex dijual dengan harga Rp 150.000 x 6 = Rp 900.000. Ini baru satu ekor kelinci. Kalau kita memiliki 5 ekor induk rex saja berarti setiap bulan mampu menghasilkan Rp 4,5 juta.

Memang kita tidak melihat hasil uang semudah itu. Ada tiga hal yang perlu menjadi pemikiran untuk mengurangi mimpi Anda beternak uang tersebut. Pertama, biaya pakan yang tidak sering menjadi perhitungan mengakibatkan kecelakaan berantai di tengah jalan, terutama jika Anda tega memberikan pakan kelinci apa adanya di musim kemarau dan ketika Anda tak mampu membeli konsentrat.

Kedua, perhitungan angka kelahiran 6 ekor memang wajar karena kelinci bisa melahirkan 8, bahkan sampai 10 ekor. Kalaupun ada yang melahirkan 2 atau 4 ekor itu sifatnya kasuistis. Namun demikian kasus kematian beruntun juga harus diperhatikan.

Selain faktor pakan, kebersihan juga menelan biaya, kecuali jika Anda memang tidak membayar orang untuk membersihkan kandang setiap hari. Obat-obatan pada kasus penyakit menular juga sering menelan biaya banyak. Lantas di mana peluang empuknya? Ikuti saja tulisan berikutnya mengenai beternak kelinci. (BisnisHobi.Com/dari berbagai sumber).

Beternak ayam kampung


Perbandingan:

Dibanding ayam arab, produktivitas ayam kampung memang kalah jauh (ayam arab 70%, kampung 40%).

Namun ayam kampung mempunyai kelebihan karena tidak mengenal penyusutan investasi. Misal, harga modal Rp 18.000/ ekor (usia produktif), maka jika sudah tidak produktif (usia di atas 2 tahun), nilai jualnya masih tinggi, mengikuti harga standar ayam kampung indukan.

Untuk ayam arab, jika sudah tidak produktif (usia di atas 2 tahun), hanya dihargai 30% dari harga beli, atau sekitar Rp 12.500/ekor.


Tata laksana pemeliharaan ayam kampung:


I. Makanan: Per hari untuk 200 ekor (pemeliharaan efektif)

1. Katul 16 kg (150 ons = per ayam 0,75 ons) = Rp 16.000.

2. Sayuran + cacahan bekicot/wedhel ikan/ikan buangan (plus obat/vitamin) = Rp 7.500 (bisa dicarikan alternatif pakan lainnya).

——————–Jumlah biaya per hari Rp 23.500


II. Hasil: Produktivitas 40%, maka per hari hasilkan = 80 butir. Harga jual per butir Rp 550 (harga jual di bakul; kalau dipasarkan sendiri ke konsumen langsung bisa mencapai Rp 650/butir)

——————- Jumlah hasil total per hari = 80 x Rp 550 = Rp 44.000

Hasil per hari = Rp 44.000 – Rp 23.500 = Rp 20.500


Kandang:

Untuk ayam 200 ekor diperlukan 4 blok kandang yang dibuat los. Masing-masing blok berukuran 2,5 x 4 m terdiri dari ruang semi-tertutup (bisa ditutup rapat bagian depan dengan plastik goni/kain dsb).

Ruang semi-tertutup ini diperlukan untuk tempat bertelor dan tidur ayam.

Di samping itu diperlukan arena umbaran dengan luas 10 x 8 m (80 m2). Luas 80m2 itu meliputi juga kandang semi tertutup yang ada di dalam lingkar arena umbaran.

Pada kandang semi tertutup digunakan lantai tanah dengan ditebari kapur (untuk pemanas ruang dan membunuh bakteri/jamur, dan mencegah bubul).

Di dalam kandang tersebut, dipasang bambu seperti tangga besar, tempat ayam tidur dengan cara nangkring. Pada salah satu sisinya, dipasangi kotak panjang besar yang di dalamnya diberi sekam, tempat ayam bertelor.

Untuk keamanan: Batas arena umbaran dan lingkungan luar dibuat pagar permanen dari pasangan batako setinggi 3,5 m. Kemudian diberi pintu yang bisa dikunci rapat.

Dampak lingkungan:

Kotoran ayam kampung relatif tidak berbau, apalagi di dalam kandang ditebari kapur yang membuat kotoran ayam relatif cepat kering.

Suara ayam relatif tidak berisik.

Senin, 05 Juli 2010

Tiga Faktor bertenak

Kalau sudah begitu, kenapa orang lantas tidak berbondong-bondong beternak ayam?

Tentu ada pasti ada faktor di baliknya. Pertama, masyarakat kita sudah jauh dari “ideologi” beternak maupun bertani. Kebanyakan orang sudah bosan menyandang predikat tani. Peternak, termasuk petani itu identik dengan keterbekalangan. Ini berbeda dengan asumsi masyarakat negara maju di mana predikat petani sejajar dengan predikat usahawan di bidang teknologi, atau pengusaha modern lainnya.

Kalau di negara maju rata-rata anak-anak muda yang berlatar belakang keluarga petani dan memperoleh pendidikan pertanian/peternakan berusaha maksimal tetap mengembangkan dunia pertanian/peternakan, lain dengan kaum muda Indonesia. Bahkan sarjana pertanian pun enggan bertani. Mereka lebih memilih menjadi kuli-kuli dengan menyerahkan secarik kertas label sarjananya.

Kedua, tidak memiliki lahan dan sarana pendukung, seperti pasokan rumput, pengelolaan pakan dan lain sebagainya. Masalah konvensional yang akan selalu terjadi di belahan dunia manapun ini sering dijadikan alasan. Nusantara dengan dua pergantian dua musim serta sumberdaya alam yang sangat mendukung masih dianggap problem. Kita lupa bahwa di negara-negara lain kondisi alamnya kalah jauh dengan Indonesia justru dijadikan tantangan untuk meraih sukses.

Ketiga, ketidaksukaan pada hewan peliharaan.

Masalah pertama adalah faktor budaya. Ini adalah masalah mentalitas bangsa secara umum di mana kalangan muda kita lebih dengan gaji pragmatis ketimbang menjadi entrepreneur, terutama di bidang peternakan atau pertanian. Alih-alih mengejar potensi ternak, mengejar potensi dirinya saja tidak mampu. Mereka lebih suka menghargai dirinya sekedar sebagai kuli ketimbang jadi wirausaha mandiri. Masalah ini agak sulit dipecahkan karena sudah menjadi masalah mental.

Faktor kedua sebenarnya bisa dipecahkan. Kita tahu setiap usaha selalu ada halangannya,-baik lingkungan, sarana, modal maupun ilmu pengetahuan. Di sini, selama ada niat dan tekad untuk mewujudkan usaha dipastikan akan mendapat jalan keluar.

Sedangkan masalah ketiga adalah masalah selera yang bisa dimaklumi. Dunia usaha tidak sekedar ditentukan oleh modal atau keinginan, melainkan sangat erat ditentukan oleh hobi. Bahkan, hobi itu sendiri yang paling banyak menentukan kesuksesan orang untuk menjadi pengusaha sukses.

Karena itu, jika di antara kita sudah memiliki jiwa peternak sekaligus wirausahawan, berniat sungguh-sungguh dan mencintai hewan ternak, maka modal dasar inilah yang akan mengantarkan pada kesuksesan.

Soal modal uang, pemasaran, sarana pendukung, relasi dan ilmu pengetahuan bisa didapatkan sambil menjalankan usaha. Beternak ayam kampug butuh jiwa kewirausahaan karena tidak sekadar mengelola ternak, melainkan harus mahir memimpin gerbong peternakan yang mana di dalamnya terdapat komponen-komponen di luar urusan ternak.

Masalah pakan misalnya, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari seorang peternak. Karena itu seorang peternak disyaratkan harus banyak memahami ilmu nutrisi hewan. Demikian juga dengan masalah kesehatan hewan. Seorang peternak yang baik juga dituntut mengenal kesehatan hewan beserta obatan-obatannya.

Pengolahan kotoran untuk pemanfatan pupuk juga menjadi bagian terpenting dari seorang peternak agar semua potensi yang ada pada ayam peliharaan bisa dimanfaatkan secara maksimal. Tak kalah pentingnya adalah kemampuan peternak dalam hal manajemen keuangan, manajemen pengelolaan karyawan, manajemen pemasaran dan lain sebagainya.

Bukan hewan peliharaannya masalahnya

Mungkin prasyarat-prasyarat di atas sudah dipahami oleh banyak orang. Tetapi kenapa akhir-akhir ini banyak peternak yang hanya bertahan satu dua tahun memelihara hewan peliharaanya?

Setelah penulis mengenali lebih dalam berbagai kegagalan peternak, ternyata letaknya bukan pada masalah hewan itu sendiri, melainkan masalah pribadi seseorang. Mayoritas mereka yang tidak bisa melanjutkan beternak ayam karena mereka tidak mampu menyelesaikan masalah pribadinya.

Satu contoh adalah pekerjaan kantoran. Kebanyakan para karyawan di kota hendak memainkan strategi ganda dengan tetap bekerja di kantor untuk mendapat gaji, sekaligus mendapatkan uang sambilan dari ternak ayam kampung. Tapi apa boleh buat, fakta membuktikan kegagalan sebagai ending dari proses yang tak serius ini. Pada mulanya mungkin merawat ayam sangat menyenangkan, tetapi ketika ada masalah-masalah muncul di tengah jalan kita tak mampu mengatasinya.

Masalah kebersihan misalnya, menjelma sebagai kegiatan yang membosankan karena seolah-olah setiap pagi merasa diperbudak oleh kelinci piaraannya. Belum lagi urusan stok rumput, pelet dan urusan lain seperti saat keluar kota sehingga tak mampu mengurus ayamnya karena keluarga di rumah juga tidak bisa diandalkan.

Bagaimana kalau model investasi diterapkan?

Investasi dalam hal ternak yang kita kenal istilah gaduh (bagi hasil) bisa jadi solusi. Tetapi kita harus tahu benar siapa yang menjalankan usaha ini. Kita tahu investasi asal-asalan pada ternak kambing, domba atau sapi sering mengalami kegagalan. Penyebabnya bisa digeneralisasi karena ketidakberesan peternak itu sendiri.

Sebagian kecil sukses dan berjalan lancar, sementara sebagian besar mengalami kegagalan. Tentu akan lebih rumit investasi pada ternak kelinci. Investor yang baik harus mengetahui sejauh mana kemampuan, keseriusan dan kejujuran sang peternak.

Fokus sebagai prinsip

Memelihara ayam kampung sebagai hasil sampingan adalah cara kerja bermain api. Tak serius dan tak menawan dijadikan pelajaran. Jangankan karyawan yang tinggal di kota, usaha sambilan ternak ayam kampung para petani di desa pun sering mengalami kegagalan.

Para petani yang sukses beternak ayam justru adalah mereka yang beternak secara serius dan tidak menempatkan usaha ternaknya sebagai sampingan. Beternak ayam kampung adalah kegiatan integral pertanian di mana pertanian menghasilkan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak menghasilkan tanaman berkualitas.

Di sini, agaknya hukum besi sedang berlaku dengan mengacu pada sebuah pertanyaan, “apakah kau mau jadi karyawan atau jadi peternak? “

Penulis jadi ingat ungkapan Mario Teguh, seorang motivator yang sedang banyak digandrungi orang-orang kota. Ia mengungkapkan, “dia yang mengejar dua ekor kelinci akan kehilangan dua kelinci. Itulah sebabnya, dalam berkarir, dalam bekerja, dalam mengejar suatu tujuan hidup selalu menempellah seperti perangko.”

Kalau hendak diperjelas maka pesan ini barangkali tepat dipraktekkan; kalau mau jadi karyawan, nikmatilah pekerjaan dan perolehan gaji apa adanya. Kalau mau jadi peternak, tinggalkan kerjaan dan fokus menikmati manis-pahitnya berwirausaha.