Senin, 05 Juli 2010

Tiga Faktor bertenak

Kalau sudah begitu, kenapa orang lantas tidak berbondong-bondong beternak ayam?

Tentu ada pasti ada faktor di baliknya. Pertama, masyarakat kita sudah jauh dari “ideologi” beternak maupun bertani. Kebanyakan orang sudah bosan menyandang predikat tani. Peternak, termasuk petani itu identik dengan keterbekalangan. Ini berbeda dengan asumsi masyarakat negara maju di mana predikat petani sejajar dengan predikat usahawan di bidang teknologi, atau pengusaha modern lainnya.

Kalau di negara maju rata-rata anak-anak muda yang berlatar belakang keluarga petani dan memperoleh pendidikan pertanian/peternakan berusaha maksimal tetap mengembangkan dunia pertanian/peternakan, lain dengan kaum muda Indonesia. Bahkan sarjana pertanian pun enggan bertani. Mereka lebih memilih menjadi kuli-kuli dengan menyerahkan secarik kertas label sarjananya.

Kedua, tidak memiliki lahan dan sarana pendukung, seperti pasokan rumput, pengelolaan pakan dan lain sebagainya. Masalah konvensional yang akan selalu terjadi di belahan dunia manapun ini sering dijadikan alasan. Nusantara dengan dua pergantian dua musim serta sumberdaya alam yang sangat mendukung masih dianggap problem. Kita lupa bahwa di negara-negara lain kondisi alamnya kalah jauh dengan Indonesia justru dijadikan tantangan untuk meraih sukses.

Ketiga, ketidaksukaan pada hewan peliharaan.

Masalah pertama adalah faktor budaya. Ini adalah masalah mentalitas bangsa secara umum di mana kalangan muda kita lebih dengan gaji pragmatis ketimbang menjadi entrepreneur, terutama di bidang peternakan atau pertanian. Alih-alih mengejar potensi ternak, mengejar potensi dirinya saja tidak mampu. Mereka lebih suka menghargai dirinya sekedar sebagai kuli ketimbang jadi wirausaha mandiri. Masalah ini agak sulit dipecahkan karena sudah menjadi masalah mental.

Faktor kedua sebenarnya bisa dipecahkan. Kita tahu setiap usaha selalu ada halangannya,-baik lingkungan, sarana, modal maupun ilmu pengetahuan. Di sini, selama ada niat dan tekad untuk mewujudkan usaha dipastikan akan mendapat jalan keluar.

Sedangkan masalah ketiga adalah masalah selera yang bisa dimaklumi. Dunia usaha tidak sekedar ditentukan oleh modal atau keinginan, melainkan sangat erat ditentukan oleh hobi. Bahkan, hobi itu sendiri yang paling banyak menentukan kesuksesan orang untuk menjadi pengusaha sukses.

Karena itu, jika di antara kita sudah memiliki jiwa peternak sekaligus wirausahawan, berniat sungguh-sungguh dan mencintai hewan ternak, maka modal dasar inilah yang akan mengantarkan pada kesuksesan.

Soal modal uang, pemasaran, sarana pendukung, relasi dan ilmu pengetahuan bisa didapatkan sambil menjalankan usaha. Beternak ayam kampug butuh jiwa kewirausahaan karena tidak sekadar mengelola ternak, melainkan harus mahir memimpin gerbong peternakan yang mana di dalamnya terdapat komponen-komponen di luar urusan ternak.

Masalah pakan misalnya, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari seorang peternak. Karena itu seorang peternak disyaratkan harus banyak memahami ilmu nutrisi hewan. Demikian juga dengan masalah kesehatan hewan. Seorang peternak yang baik juga dituntut mengenal kesehatan hewan beserta obatan-obatannya.

Pengolahan kotoran untuk pemanfatan pupuk juga menjadi bagian terpenting dari seorang peternak agar semua potensi yang ada pada ayam peliharaan bisa dimanfaatkan secara maksimal. Tak kalah pentingnya adalah kemampuan peternak dalam hal manajemen keuangan, manajemen pengelolaan karyawan, manajemen pemasaran dan lain sebagainya.

Bukan hewan peliharaannya masalahnya

Mungkin prasyarat-prasyarat di atas sudah dipahami oleh banyak orang. Tetapi kenapa akhir-akhir ini banyak peternak yang hanya bertahan satu dua tahun memelihara hewan peliharaanya?

Setelah penulis mengenali lebih dalam berbagai kegagalan peternak, ternyata letaknya bukan pada masalah hewan itu sendiri, melainkan masalah pribadi seseorang. Mayoritas mereka yang tidak bisa melanjutkan beternak ayam karena mereka tidak mampu menyelesaikan masalah pribadinya.

Satu contoh adalah pekerjaan kantoran. Kebanyakan para karyawan di kota hendak memainkan strategi ganda dengan tetap bekerja di kantor untuk mendapat gaji, sekaligus mendapatkan uang sambilan dari ternak ayam kampung. Tapi apa boleh buat, fakta membuktikan kegagalan sebagai ending dari proses yang tak serius ini. Pada mulanya mungkin merawat ayam sangat menyenangkan, tetapi ketika ada masalah-masalah muncul di tengah jalan kita tak mampu mengatasinya.

Masalah kebersihan misalnya, menjelma sebagai kegiatan yang membosankan karena seolah-olah setiap pagi merasa diperbudak oleh kelinci piaraannya. Belum lagi urusan stok rumput, pelet dan urusan lain seperti saat keluar kota sehingga tak mampu mengurus ayamnya karena keluarga di rumah juga tidak bisa diandalkan.

Bagaimana kalau model investasi diterapkan?

Investasi dalam hal ternak yang kita kenal istilah gaduh (bagi hasil) bisa jadi solusi. Tetapi kita harus tahu benar siapa yang menjalankan usaha ini. Kita tahu investasi asal-asalan pada ternak kambing, domba atau sapi sering mengalami kegagalan. Penyebabnya bisa digeneralisasi karena ketidakberesan peternak itu sendiri.

Sebagian kecil sukses dan berjalan lancar, sementara sebagian besar mengalami kegagalan. Tentu akan lebih rumit investasi pada ternak kelinci. Investor yang baik harus mengetahui sejauh mana kemampuan, keseriusan dan kejujuran sang peternak.

Fokus sebagai prinsip

Memelihara ayam kampung sebagai hasil sampingan adalah cara kerja bermain api. Tak serius dan tak menawan dijadikan pelajaran. Jangankan karyawan yang tinggal di kota, usaha sambilan ternak ayam kampung para petani di desa pun sering mengalami kegagalan.

Para petani yang sukses beternak ayam justru adalah mereka yang beternak secara serius dan tidak menempatkan usaha ternaknya sebagai sampingan. Beternak ayam kampung adalah kegiatan integral pertanian di mana pertanian menghasilkan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak menghasilkan tanaman berkualitas.

Di sini, agaknya hukum besi sedang berlaku dengan mengacu pada sebuah pertanyaan, “apakah kau mau jadi karyawan atau jadi peternak? “

Penulis jadi ingat ungkapan Mario Teguh, seorang motivator yang sedang banyak digandrungi orang-orang kota. Ia mengungkapkan, “dia yang mengejar dua ekor kelinci akan kehilangan dua kelinci. Itulah sebabnya, dalam berkarir, dalam bekerja, dalam mengejar suatu tujuan hidup selalu menempellah seperti perangko.”

Kalau hendak diperjelas maka pesan ini barangkali tepat dipraktekkan; kalau mau jadi karyawan, nikmatilah pekerjaan dan perolehan gaji apa adanya. Kalau mau jadi peternak, tinggalkan kerjaan dan fokus menikmati manis-pahitnya berwirausaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar